HEADER

Rabu, 15 Juni 2011

ITOSU

asutsune “Ankoh” Itosu lahir di Shuri-no Tobaru pada tahun 1830. Ia adalah salah seorang yang mencapai usia lanjut, 85 tahun dan berhasil menjadi ‘meijin’ atau orang sakti mandraguna yang begitu didambakan oleh setiap karateka. Berbagai kisah keperkasaan Itosu tersimpan di memori para murid, rekan, maupun lawan yang pernah berjumpa dengannya. Kemampuannya menahan, atau tepatnya menangkis sabetan samurai dalam suatu pertarungan masih menjadi misteri hingga kini. Di penghujung hayatnya Itosu tetap gesit dan tangguh bila memainkan karatenya. Memang hanya tenaga fisiknya saja yang berkurang karena dimakan usia, namun kesaktiannya tetap saja tidak tertandingi.
Itosu pertama kali belajar karate kepada maestro terkenal, Sokon “Bushi” Matsumura (1796 – 1889) di Shuri, dan kemudian ia juga belajar kepada Kosaku Matsumora dari Tomari. Dari berbagai literatur dan dokumentasi sejarah diketahui bahwa Itosu, bersama-sama dengan sahabatnya, Kanryo Higaonna (1845 – 1916), dari Naha, menjadi tokoh utama karate di abad ke 19.
Selain karena Itosu menguasai hampir seluruh ilmu yang diajarkan Sokon Bushi Matsumura, ia juga sangat terkenal dan dihormati sebagai penggubah berbagai bentuk dan sistem ‘kata’. Sebagai seorang guru besar, Itosu dikenal karena sangat memperhatikan harmoni antara bentuk postur tubuh dengan jiwa yang kuat agar menghasilkan fungsi tubuh terbaik. Melalui ajaran-ajarannya Itosu memberi bentuk atau format karate aliran Shuri menjadi karate yang terstruktur dengan jelas, mengandalkan pada kecepatan teknik dan gerakan-gerakan praktis.
Dengan penghayatan ‘kata’ Itosu menekankan bahwa karate adalah sebuah pedoman hidup sekaligus perangkat untuk mendapatkan rasa aman dan berani. Jadi bukan hanya sebagai alat beladiri, ‘kata’ juga berfungsi sebagai pembentuk kepribadian seorang karateka.
Sebagai seorang pembaharu, Itosu selalu mencari hal-hal yang dapat memajukan karate. Salah satu usahanya adalah mendorong Gichin Funakoshi untuk memperkenalkan karate ke dunia luar, termasuk ke Jepang.
Dididik Sangat Keras Sejak Kecil
Pertama kali belajar ilmu beladiri, usia Itosu baru tujuh tahun dan langsung diajar oleh ayahnya sendiri. Sang ayah mendidik Yasutsune Itosu dengan keras dan tampak bagi orang lain seperti yang kejam. Itosu kecil kerap diikat badannya dan ditambatkan pada sebuah tiang. Cara melatihnya ‘unik’ karena Itosu dihujani pukulan dari batang-batang kayu. Tentu saja Itosu akan kewalahan dan menangis terkena pukulan karena ia tertambat pada tiang, namun sang ayah baru berhenti ketika Itosu berada di ambang puncak kemarahannya. Begitulah cara Itosu dilatih untuk menumbuhkan “fighting spirit” cara kaum samurai.
Ketika Itosu berusia 16 tahun, ayahnya mengajak serta ke pertemuan dengan maestro karate ternama saat itu, Bushi Matsumura di kediaman dan sekaligus dojonya tak jauh dari kuil Shuri. Kepada Matsumura, ayah Itosu memohon agar anaknya diperkenankan menjadi seorang ‘deshi’ atau seorang satria pejuang sejati yang sangat terhormat harkat dan posisinya. Matsumura, yang terkenal sangat pemilih akan calon-calon muridnya terkesan pada sorot mata Itosu yang memancarkan semangat besar, walaupun tubuhnya tergolong kecil. Matsumura tidak mengatakan setuju atau tidak secara eksplisit, namum ia berujar, seperti yang terekam dalam dokumentasi sejarah karate Okinawa, “Paling penting adalah sikap dan kerja keras untuk menjalani perjalanan hidup kita” ujar Matsumura kepada Itosu yang membung-kukkan badan tanda hormat. Pernyataan tersebut membesarkan hati ayah Itosu karena itu berarti Matsumura berkenan untuk menerima murid baru. Walaupun ayah Itosu dan Matsumura sama-sama termasuk dalam satu keluarga bangsawan Shuri, namun perkara berguru karate harus benar-benar memperhatikan bakat, sikap, dan satu lagi yang pentingyaitu takdir atau suratan. Belum tentu seorang kerabat atau saudara dekat boleh dan bisa berguru kepada Matsumura.

Keesokan harinya mulailah Itosu dilatih oleh sang maestro dengan bersungguh-sungguh. Sejak awal, Itosu tidak pernah luput mengikuti latihan setiap hari dari terbit fajar hingga larut malam. Matsumura memberikan prinsip-prinsip kesetiaan, kepatuhan, semangat, dan daya juang melalui latihan-latihan fisik dan mental yang sangat berat, yang belum tentu mampu dilakukan oleh murid-murid Matsumura yang lain. Ternyata Itosu selain kecerdasannya berada di atas rata-rata, ia juga memiliki mental baja buah dari didikan ayahnya sejak kecil. Hampir tidak ada hari, bulan dan tahun yang dilewatkan tanpa berlatih fisik dan mental, hingga tidak terasa Itosu sudah delapan tahun menimba ilmu. Walhasil, selain sarat akan keterampilan karate, Itosu sudah menjadi seorang pemuda yang tinggi, tegap, dan kuat. Mungkin ia menjadi orang paling tinggi posturnya di seantero kawasan Shuri.
Mengalahkan Banteng Liar
Pada suatu ketika, Itosu melakukan perjalanan ke Naha-shi Azamito hendak menyaksikan pertunjukan adu banteng liar dalam suatu keramaian di perbatasan kota Naha. Ketika hampir sampai ke tempat pertunjukan, terlihat di lembah dekat arena seekor banteng besar yang akan diadu terlihat sedang mengamuk di tengah-tengah arena. Karena kuatnya banteng itu mengamuk dan tidak berhasil ditenangkan oleh petugas pertunjukan, banteng itu malah mendobrak dinding kayu pembatas arena dan langsung menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Serentak para penonton bubar, lari kocar kacir sambil menyelamatkan diri dari serudukan banteng. Bukannya menghindar, Itosu malah menghampiri banteng yang berlari kencang ke arahnya. Sambil mengabaikan peringatan orang-orang yang ngeri melihat banteng sudah merundukkan tanduk dan badannya ke arah Itosu, segera Itosu menggeser badannya ke samping dan menangkap sang banteng sambil mencengkeram kedua tanduk dengan tangannya kuat-kuat. Hening seketika para penonton menyaksikan adegan tersebut. Beberapa saat berlalu, Itosu terus memiting kepala banteng yang berlari tak tentu arah karena kelelahan. Akhirnya, banteng tersebut rubuh ke tanah. Di sela-sela taburan debu tempat jatuhnya banteng tersebut para penonton dengan kagum menyaksikan Itosu menjepit leher banteng dengan kedua rangkulan tangannya disertai derakan bunyi tulang leher banteng hingga akhirnya binatang itu tewas.
Keberhasilan Itosu mengalahkan seekor banteng mengamuk tersebut membuat ia menjadi buah bibir masyarakat. Dari berbagai diskusi di rumah-rumah makan dan berbagai pertemuan komunitas masyarakat di Naha, kemudian muncul spekulasi apakah Itosu bisa mengalahkan para jago karate dari Naha. Hal ini menjadi topik menarik karena saat itu di Naha, sudah sering ada karateka yang mempertunjukkan keahliannya di arena pertarungan bebas. Juara karate saat itu dipegang oleh Tomoyose, yang berbadan kekar dan bertenaga sangat kuat, dan sudah beberapa kali musim pertandingan belum ada yang bisa mengalahkannya. Sedangkan aliran dari Shuri belum terdengar memiliki jagoan yang bisa diandalkan. Pada masa itu aliran atau gaya dari Shuri dianggap terlalu berorientasi kepada keindahan gerak bahkan bisa digolongkan ke dalam pertunjukan tari-tarian saja.
Tidak Terkalahkan
Pada musim panas tahun 1856, Itosu melakukan perjalanan ke kota Naha untuk mencari udara dan suasana baru yang lebih segar karena di Shuri saat itu sangat panas dan lembab cuacanya. Menjelang tengah hari di tengah perjalanan ketika hendak tiba di Naha, Itosu beristirahat dekat lembah bebatuan yang teduh oleh kerimbunan pohon. Di antara suara angin yang menggoyangkan dedaunan, lamat-lamat ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap merendahkan karate dari Shuri, yang menurut mereka sangat lembek seperti pemain dari salon saja. Yakin pendengarannya tidak salah, Itosu mendekati kedua orang asing yang masih terus membanggakan jagoannya dari Naha tersebut. Segera Itosu menghampiri kedua orang itu dan mengatakan bahwa mereka keliru jika menganggap karate Shuri hanya sekedar penampilan saja. Untuk itu, Itosu mengumumkan tantangan kepada kampiun dari Naha, Tomoyose.
Pada hari yang ditentukan, Itosu sudah berada di arena pertarungan lebih awal. Sebelum berjumpa Tomoyose, ada tiga orang karateka yang mencoba kemampuan Itosu. Namun dalam beberapa jurus saja Itosu melumpuhkan ketiganya di depan publik setempat. Tak berapa lama, muncullah Tomoyose yang berbadan tegap, agak lebih besar dari Itosu, dengan wajah menyeringai. Segera Itosu menyimpulkan bahwa ia harus menyerang secapatnya dan jangan sampai lawan memanfaatkan tenaga serang Itosu menjadi serangan balik. Sesaat kemudian kedua orang tersebut sudah berada di tengah arena pertandingan. Taruhanpun segera dipasang dengan perbandingan sepuluh banding satu untuk kemenangan Tomoyose.
Secepat kilat Tomoyose melancarkan pukulan keras, yang bisa merobohkan kerbau sekalipun. Itosu segera menghampiri dan menangkis kedua tangan lawannya seraya lancarkan pukulan “shuto” ke arah tangan lawan. Secepatnya pula Itosu melompat ke samping menghindari dorongan tenaga yang datang. Seketika itu para penonton mendengar suara berderak seperti dahan patah. Rupanya di tengah arena terlihat sang juara dari Naha, mengerang kesakitan dengan kedua lengannya menjuntai patah. Gempar seluruh penduduk negeri mengetahui Tomoyose dikalahkan orang Shuri.

Tetap Bersahaja
Keberhasilan Itosu mengalahkan Tomoyose menjadi tersohor di seluruh Naha dan tidak sedikit orang ingin mencoba atau mengalahkannya. Namun semua cobaan dan tantangan tersebut berhasil diatasi dengan kemenangan. Itosu tetap bersahaja dan sangat rendah hati.
Itosu kemudian mengajarkan karate disekolah-sekolah menengah dan lanjutan di Okinawa. Karate sudah resmi masuk ke dalam kurikulum sekolah. Sampai pada suatu saat, badan beladiri Jepang dan Okinawa merencanakan pertarungan antara karate dan judo untuk mencari sistem mana yang terbaik, apakah karate dari Okinawa, atau judo dari Jepang. Kali ini, Itosu diminta untuk mau bertanding melawan judoka dari Jepang. Karena pertandingan ini resmi didukung oleh pemerintah. Itosu menyanggupinya. Alasan lainnya karena Itosu ingin menunjukkan kepda murid-muridnya bahwa karate pada dasarnya adalah seni bertarung bukan tontonan.
Jalannya pertarungan antara judo dan karate relatif singkat. Itosu, walaupun saat itu sudah berusia 75 tahun, mampu menerbangkan judoka penantangnya dengan pukulan yang disertai tenaga ‘ki’. Penonton menyadari bahwa Itosu memang belum terkalahkan.
Walaupun tidak ada lagi orang yang mampu menundukkan, Itosu selalu menekankan bahwa karate hanya boleh digunakan pada saat betul-betul terdesak., bukan untuk mencari kemasyhuran atau kalah menang. Jadikanlah karate sebagai tuntunan kehidupan agar bisa mencapai tingkat kedamaian tertinggi.
Murid-murid Yasutsune “Ankoh” Itosu, yaitu :
1. Kentsu Yabu (1863-1937)
2. Gichin Funakoshi (1868-1957), Shotokan
3. Chomo Hanashiro (1869 – 1945), Shorin ryu
4. Chotoku Kyan (1870 – 1945), Shorinji-ryu
5. Choki Motobu ( 1871 – 1944), Shorin-ryu
6. Moden Yabiku (1878 – 1941), Kobudo
7. Shosei Kina (1883 – 1980), Uhuchiku Kobudo
8. Chosin Chibana (1885 – 1969), Kobayashi-ryu
9. Ambun Tokuda (1886 –1957), Shorin-ryu
10. Kanken Toyama (1888 – 1966), Shudokan
11. Kenwa Mabuni (1888 – 1957), Shito-ryu
12. Chojo Oshiro (1889 – 1930), Shorin-ryu
13. Shiroma Gusukuma (1890 – 1945),
14. Shigeru Nakamura (1895 – 1969), Okinawa Kempo
15. Choiku Itarashiki,
16. Chomei Nago,
17. Chotei Soryoku, Shorin-ryu
Kata Yang Diciptakan Oleh Yasutsune “Ankoh” Itosu, yaitu :
1. Pinan 1 – 5
2. Naifuanchin 1 – 3
3. Jitte
4. Jion
5. Jiin
6. Bassai (patsai) sho
7. Bassai (patsai) dai
8. Kusanku (kwanku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog